Kenapa aku tiba-tiba kepo sama laser wajah?
Jujur, ini bermula dari kebosanan melihat foto lama—yang mana muka masih kinclong dan tanpa jejak jerawat masa lalu. Setelah scroll IG berjam-jam sambil ngiler sama before-after ala-ala, aku pun mutusin buat booking konsultasi ke klinik estetika. Motivasinya sederhana: pengen upgrade tampilan, bukan karena terpaksa, lebih ke self-care yang agak mewah gitu.
Datang ke klinik: suasana ngangenin, bukan menakutkan
Ruang tunggu bersih, musiknya chill, dan mbak resepsionisnya ramah banget—langsung deh rasa gugup itu mereda. Konsultasi sama dokter berlangsung santai; dokter nanya keluhan, riwayat kulit, dan harapanku. Di sini aku belajar kalau “laser” itu bukan satu jenis doang. Ada fractional, Q-switched, picosecond, IPL—ibaratnya macem-macem genre musik buat kulit.
Drama di ruang treatment (eh, bukan drama Korea)
Waktu treatment, aku agak was-was bakal sakit parah. Ternyata sensasinya lebih ke seperti ditusuk-tusuk kecil oleh karet gelang—aneh tapi masih bisa dicuekin. Dokter pakai cooling gel dan ada xenon lamp (atau semacamnya) biar rasa panasnya nggak berlebihan. Durasi? Sekitar 30–45 menit untuk wajahku, tergantung area dan jenis laser. Kalau buat badan tentu lebih lama lagi.
Teknologi canggih: bukan sulap tapi laser
Sambil nunggu, dokter jelasin teknologinya singkat: laser itu ngasih energi ke kulit, ngerangsang kolagen, atau memecah pigmen yang bikin bekas jerawat atau flek. Ada juga yang buat hair removal—itu favorit banyak orang karena hemat waktu nge-cekok-cabikan bulu di rumah. Aku sempet nyenggol-nyenggol topik safety juga—pokoknya penting pilih klinik yang punya sertifikasi dan tenaga medis berlisensi.
Kalau kamu pengen liat lebih jauh tentang layanan dan teknologi yang mereka pake, aku sempet nemu referensi ini medluxbeauty—lumayan buat bekal baca-baca sebelum datang.
Bangun dari kursi: kulitnya memerah, tapi bukan tragedi
Keluar dari ruang treatment, mukaku merah kayak habis lari maraton—tapi dokter bilang itu normal. Mereka siapin soothing mask dan krim antibiotik (jika perlu). Yang penting adalah homecare: sunscreen wajib, jangan garuk-garuk, dan hindari makeup tebal selama beberapa hari. Sederhana tapi sering di-skip oleh orang yang nggak sabaran.
Gimana hasilnya? ngarep setinggi langit, sabar dulu
Hasilnya nggak langsung 100% sempurna dalam semalam—balik lagi ke jenis laser. Untuk tekstur dan pori-pori, aku mulai lihat perubahan setelah seminggu; bekas jerawat sedikit memudar setelah beberapa sesi. Untuk pigmen hitam butuh beberapa kali treatment. Intinya: laser itu marathon, bukan sprint. Kalau kamu expect perubahan kilat, siap-siap kecewa.
Tips dari pengalaman (biar kamu nggak panik kayak aku)
– Pilih klinik yang jelas: cek review, minta lihat sertifikat, tanya siapa dokternya.
– Konsultasi dulu: jangan asal ikut tren. Kulit tiap orang berbeda, yang cocok buat temanmu belum tentu cocok buatmu.
– Siapkan budget: perawatan berkualitas nggak murah, tapi worth it kalau dilakukan dengan benar.
– Patuhi aftercare: sunscreen, hindari panas, dan jangan pakai produk aktif berat beberapa hari.
Sekarang aku? Lebih pede, tapi tetap realistis
Sekian cerita singkat dari pengalaman laser wajahku. Ada bagian menyenangkan, ada bagian ngeri-ngeri sedap (kayak merah-merahnya yang bikin teman nanya “kena apa?”). Sekarang aku lebih paham tentang teknologi estetika medis, dan rasanya percaya diri itu datang dari kombinasi perawatan yang tepat dan sikap menerima diri sendiri.
Kalau kamu lagi mikir-mikir buat coba laser, jangan lupa konsultasi dulu dan siapin mental. Karena seperti kemping: seru banget kalau persiapannya baik, tapi bisa drama kalau ada yang lupa bawa tenda. Hehe.